Untuk memahami akarnya, kita perlu melihat dua perspektif hukum dan sosial yang seringkali tampak bertentangan.
1. Sisi Perlindungan Guru
Para guru dilindungi oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 39, disebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, dan organisasi profesi wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Perlindungan ini mencakup:
● Perlindungan Hukum: Melindungi guru dari tindak kekerasan, ancaman, atau perlakuan diskriminatif.
● Perlindungan Profesi: Meliputi perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai aturan, pemberian imbalan yang tidak wajar, serta pembatasan dalam menyampaikan pandangan.
Dari sudut pandang ini, tindakan mendisiplinkan siswa—selama masih dalam batas kewajaran dan bertujuan mendidik—dianggap sebagai bagian dari tugas profesional guru. Banyak guru merasa cemas bahwa upaya mereka untuk menegakkan disiplin bisa dengan mudah disalahartikan sebagai kekerasan dan berujung pada laporan polisi, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “kriminalisasi guru”. Argumennya adalah jika guru terlalu takut untuk menegur atau memberi sanksi, wibawa mereka akan menurun dan proses pendidikan karakter akan terhambat.
2. Sisi Perlindungan Anak
Anak sebagai subjek hukum mendapatkan perlindungan yang sangat kuat melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Beberapa pasal kunci yang relevan adalah:
● Pasal 9 & 54: Menegaskan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, dan kejahatan seksual yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, atau pihak lain.
● Pasal 76C: Melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, atau melakukan kekerasan terhadap anak.
● Pasal 80: Mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak, mulai dari pidana penjara hingga denda, yang beratnya disesuaikan dengan dampak luka yang diderita korban.
Perspektif ini mutlak: kekerasan fisik bukanlah metode pendisiplinan yang dapat dibenarkan. Dampaknya terhadap anak bukan hanya luka fisik, tetapi juga trauma psikologis jangka panjang seperti ketakutan, rendah diri, dan potensi meniru perilaku kekerasan di masa depan. Bagi pegiat hak anak, tidak ada kompromi untuk kekerasan di lingkungan yang seharusnya paling aman bagi mereka.
3. Menemukan Titik Temu Terbaik: Paradigma Disiplin Positif
Titik temu terbaik antara perlindungan guru dan perlindungan anak terletak pada pergeseran paradigma dari menghukum menjadi mendidik. Solusi ini dikenal dengan konsep Disiplin Positif.
Disiplin positif adalah pendekatan untuk membangun kontrol diri dan karakter anak tanpa kekerasan. Tujuannya adalah menumbuhkan kesadaran internal pada siswa untuk berperilaku baik, bukan karena takut hukuman.
Titik temu ini dapat diwujudkan melalui:
1. Regulasi Internal Sekolah yang Jelas dan Partisipatif: Sekolah harus memiliki tata tertib yang jelas mengenai bentuk-bentuk pelanggaran dan konsekuensinya. Pentingnya, sanksi yang diterapkan harus bersifat edukatif dan restoratif, bukan hukuman fisik. Contohnya, siswa yang merusak fasilitas diminta memperbaikinya, atau siswa yang mengganggu diminta membuat presentasi tentang pentingnya menghargai orang lain.
2. Dialog dan Mediasi sebagai Langkah Pertama: Ketika terjadi konflik, langkah pertama bukanlah pelaporan ke polisi, melainkan mediasi yang melibatkan guru, siswa, orang tua, dan pihak sekolah (kepala sekolah/guru BK). Tujuannya adalah mencari akar masalah dan solusi bersama, bukan mencari siapa yang salah.
3. Peningkatan Kompetensi Guru: Guru perlu dibekali dengan pelatihan mengenai metode-metode manajemen kelas modern dan teknik disiplin positif. Ini akan memberikan mereka “alat” lain selain hukuman fisik untuk menghadapi siswa yang sulit diatur.
4. Kolaborasi Tri Sentra Pendidikan: Konsep Ki Hajar Dewantara ini sangat relevan. Harus ada komunikasi dan kerja sama yang erat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Orang tua tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter anak kepada sekolah. Sebaliknya, orang tua juga perlu mendukung program disiplin positif yang diterapkan sekolah.
4. Apa yang Harus Diutamakan dan Dihindari?
Dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini, berikut adalah hal-hal yang perlu menjadi prioritas dan yang harus dihindari:
Hal yang Harus Diutamakan
● Kepentingan Terbaik Anak (Best Interest of the Child): Ini adalah prinsip universal. Dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan anak, dampaknya terhadap tumbuh kembang anak harus menjadi pertimbangan utama.
● Menciptakan Lingkungan Belajar yang Aman dan Nyaman: Sekolah harus menjadi safe space di mana siswa merasa aman secara fisik dan psikologis. Tanpa rasa aman, proses belajar tidak akan optimal.
● Pendidikan Karakter Berbasis Empati dan Tanggung Jawab: Fokus pendidikan harus bergeser pada pembentukan karakter siswa yang bertanggung jawab atas tindakannya dan memiliki empati terhadap orang lain.
● Perlindungan Dua Arah: Baik guru maupun siswa harus merasa dilindungi. Guru dilindungi dari kriminalisasi yang tidak berdasar, sementara siswa dilindungi dari segala bentuk kekerasan.
Hal yang Harus Dihindari
● Segala Bentuk Kekerasan (Zero Tolerance for Violence): Baik fisik (memukul, mencubit, menjewer) maupun verbal (membentak, menghina, melabeli). Hukuman fisik bukanlah alat pendisiplinan.
● Kriminalisasi Guru Secara Gegabah: Melaporkan guru ke polisi harus menjadi jalan terakhir (ultimum remedium) setelah semua upaya mediasi dan penyelesaian internal di tingkat sekolah gagal. Organisasi profesi seperti PGRI harus berperan aktif dalam mediasi ini.
● Sikap Saling Menyalahkan: Menghindari “blame game” antara orang tua dan guru. Keduanya harus introspeksi dan bekerja sama.
● Impunitas: Meskipun kriminalisasi harus dihindari, bukan berarti guru yang terbukti melakukan kekerasan berat bisa bebas dari sanksi. Harus ada mekanisme sanksi yang tegas, mulai dari sanksi administratif hingga proses hukum jika diperlukan, untuk memberikan efek jera.
Pada akhirnya, tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Ini hanya bisa tercapai jika prosesnya sendiri dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi, menghargai martabat guru sebagai pendidik dan hak anak untuk tumbuh tanpa rasa takut.
Luwuk, 15/10/2025