Oleh Rastono Sumardi
Pagi buta bahkan belum sempurna merekah saat kabut tebal turun memeluk Desa Dongkalan. Ia merayap, menempel pada daun-daun talas hingga serupa permata susu, membasahi atap rumbia, dan meninggalkan jejak dingin di setiap jengkal tanah. Di tengah selimut putih itu, Jojo, seorang remaja lima belas tahun, bergerak lincah. Ransel yang warnanya telah menyerah pada waktu berayun di punggungnya, sementara sepatu kanvasnya berdecak melawan embun.
“Jika aku tergelincir sekali lagi,” gumamnya pada napasnya yang mengepul, “sungai ini akan kubaptis menjadi ‘Sungai Jojo Tersungkur’.”
Ia melompati batu-batu kali yang licin seperti belut. Lima kilometer bukan lagi jarak, melainkan ritme harian; mendaki bukit, menuruni lembah, menyeberangi sungai, dan sesekali adu lari dengan kambing Pak RT yang temperamental. Semua itu adalah harga sebuah ilmu. Namun, hari ini langkahnya terasa berat, seolah menanggung beban seluruh bukit yang ia lewati. Ia tahu, perjalanan ini akan segera berakhir. Ijazah SMP sudah di tangan, tetapi gedung SMA terdekat berada di kota kecamatan—sebuah galaksi yang terlalu jauh untuk dijangkau. Ongkos? Ayahnya bahkan masih menawar harga garam di warung.
Malam merayap pelan di rumah panggung keluarga Beny. Pelita minyak di sudut ruangan berkedip-kedip, apinya menari gelisah seolah ikut merasakan debar di dada para penghuninya.
“Aku takut, Beny,” bisik Ibu Sarina, suaranya tergetar seperti senar yang dipetik perlahan. “Jojo dan Elita itu anak-anak yang otaknya lebih terang dari pelita ini. Tapi lihatlah… Jojo terpaksa berhenti. Sebentar lagi, Elita juga.”
Pak Beny menghela napas. Udara malam yang dingin terasa menyesakkan paru-parunya. Jemarinya yang kasar dan kapalan, saksi bisu ribuan cangkulan di kebun, mengusap tepian meja. “Kau pikir aku tidak? Setiap malam aku merasa seperti ayah yang gagal. Hanya bisa menyuruh mereka mengikat kambing dan menjaga kebun singkong.”
Setetes air mata jatuh dari pelupuk Ibu Sarina, membasahi kain sarungnya. “Jojo selalu menggambar tentara di buku-bukunya. Elita ingin jadi guru, katanya agar anak-anak Dongkalan tak perlu menyeberang sungai sambil gemetar. Tapi mimpi mereka terperangkap di sini.”
“Ssst,” Pak Beny merengkuh bahu istrinya. “Jangan menyalahkan takdir terus. Aku dengar dari Pak Ayub, ada program dari kabupaten. Namanya… ‘ADE Kembali Sekolah’. Mungkin itu bukan sekadar angin.”
“Semoga bukan janji yang dicetak di atas brosur lalu terbang ditiup angin,” sahut Ibu Sarina lirih.
Di balik bilik bambu, Jojo dan Elita menahan napas. Mereka pura-pura terlelap, tetapi telinga mereka menangkap setiap kata, setiap helaan napas orang tua mereka. Di dalam dada Jojo, sebuah harapan kecil mulai menyala, rapuh namun hangat. Jika benar ada jalan, sekecil apa pun, aku akan menerobosnya. Kalaupun jatuh, aku akan bangun lagi. Sama seperti di sungai tadi pagi.
Beberapa hari kemudian, balai desa yang reyot mendadak ramai. Pak Ayub, guru sepuh yang garis-garis di wajahnya seolah peta dari setiap anak yang pernah ia ajar, berdiri di depan. “Ada kabar baik, Bapak dan Ibu sekalian. Program ADE Kembali Sekolah benar-benar ada. Anak-anak kita bisa melanjutkan lewat PKBM, ijazahnya setara SMP dan SMA. Memang bukan sekolah mentereng, tapi ini sebuah pintu.”
Udara yang tadinya hening kini riuh oleh bisik-bisik. Ada yang sangsi, ada yang antusias. Pak Heri, yang mulutnya lebih tajam dari parang, nyeletuk, “Hati-hati, Pak Guru! Jangan sampai anggaran papan tulisnya dua, yang datang cuma setengah papan!”
Tawa membahana, bahkan Pak Ayub ikut tersenyum. “Justru itu! Makanya kita semua harus menjadi pengawas. Kalau ada yang janggal, kita teriak bersama-sama!”
Dan benar saja. Saat tim dari kabupaten datang, pembukuan dibuka transparan di tengah balai desa. Ditemukan kuitansi pembelian kapur tulis seharga seekor ayam jago dewasa. Warga melotot. Sekretaris Desa, Pak Rasyid, hanya bisa tersenyum kecut. Sejak saat itu, setiap rupiah yang dibelanjakan terpampang di papan pengumuman. Kepercayaan warga mulai tumbuh, disirami oleh kejujuran.
PKBM Harapan Baru pun lahir. Ruangannya adalah aula balai desa yang pengap. Bangkunya pinjaman dari gereja, peta Indonesia dipaku miring seolah sedang berjuang agar tidak menyerah, dan papan tulisnya retak di sudut. Namun, mata anak-anak yang datang berkilauan, lebih terang dari lampu neon mana pun.
Jojo, Elita, dan Ariani—sahabat Jojo yang senyumnya bisa membuat bunga liar di pinggir jalan ikut mekar—duduk di barisan terdepan.
“Jo, awas kalau salah jawab soal perkalian,” bisik Ariani.
“Memangnya kenapa?”
“Gajimu sebagai tentara nanti kupotong untuk bayar utang penghapus!”
Mereka tergelak, tawa yang renyah dan lepas, hingga suara dehem Pak Ayub menghentikannya. “Kalian berdua! Kalau mau jadi tentara dan guru, jangan hanya pintar tertawa. Coba hitung, tujuh kali delapan!”
Hari-hari di PKBM adalah perayaan atas keterbatasan. Saat hujan deras, atap yang bocor memaksa kelas pindah ke teras. Buku-buku yang basah dijemur Ariani satu per satu di dekat tungku masak, sementara Elita dengan teliti mencatat siapa saja yang absen karena harus membantu orang tua di ladang. Suasananya mungkin berantakan, tetapi jiwanya begitu hangat.
Suatu senja, Pak Ayub memanggil Jojo. “Kau benar-benar ingin jadi tentara?”
Jojo mengangguk, dagunya terangkat mantap. “Betul, Pak. Tapi ongkos pendaftarannya saja…”
Pak Ayub tersenyum teduh. “Soal tumpangan ke kota, itu urusanku. Tapi ingat, Jojo. Menjadi tentara bukan hanya soal push-up dan lari. Kau juga harus belajar menelan kecewa.”
Jojo menggaruk kepalanya. “Menelan kecewa? Makanan macam apa itu, Pak?”
Pak Ayub tertawa. “Itu adalah makanan yang akan membuatmu lebih kuat dari baja.”
Ucapan itu terbukti. Jojo gagal pada seleksi pertamanya. Namanya tidak ada di papan pengumuman yang terasa setinggi gunung. Ia pulang dengan langkah gontai, duduk membisu di tepi sungai, tempat ia dulu sering mengancam akan menamainya.
Ariani datang tanpa suara, duduk di sebelahnya. “Rasanya sakit, ya?”
“Bukan cuma sakit. Malu.”
Ariani tersenyum tipis. “Kalau malu, gampang. Tinggal tutup muka pakai karung beras.”
Jojo melotot, lalu tawa kecil yang serak keluar dari mulutnya. “Dasar!”
“Coba lagi,” kata Ariani, kini suaranya melembut. “Kalau jatuh, jatuhnya jangan sendirian. Aku juga sering gagal, tapi lihat, aku masih di sini. Besok kita coba lagi.”
Hati Jojo terasa hangat. Kalimat sederhana dari seorang sahabat ternyata lebih ampuh dari pidato motivasi mana pun. Itu adalah api unggun kecil yang dinyalakan di tengah badai.
Didorong semangat itu, Jojo berlatih lebih keras, berlomba dengan kokok ayam, berteman dengan embun pagi. Dan pada seleksi kedua, namanya tercantum di sana. Nomor 37. JOJO BIN BENY. Ia melompat begitu tinggi hingga hampir menanduk Pak Ayub yang berdiri di belakangnya.
“Pak! Ada namaku, Pak! Nomor 37!”
Pak Ayub menepuk-nepuk punggungnya, berusaha menahan haru. “Bagus! Tapi jangan melompat terlalu tinggi, nanti kepalamu tersangkut di awan.”
Waktu berlari lebih cepat dari anak panah. Jojo lulus dari akademi militer. Ia pulang dengan seragam gagah yang seolah ditenun dari harapan seluruh desa. Ariani, setelah menyelesaikan kuliah kependidikannya, kembali untuk mengabdi. Ia membuka kelas malam di teras rumahnya, di bawah cahaya lampu petromaks, mengajari anak-anak dan bahkan ibu-ibu yang ingin bisa menulis nama mereka sendiri. Elita menjadi bidan desa, tangannya yang terampil tidak hanya membantu persalinan, tapi juga menyelipkan pelajaran berhitung saat menjelaskan takaran gizi pada para ibu.
Pada perayaan Hari Pendidikan Nasional, balai desa disulap menjadi panggung penuh warna. Spanduk sederhana terbentang: LANGIT YANG TAK PERNAH BERHENTI BIRU.
Pak Dede, Kepala Dinas Pendidikan, datang dan pidatonya singkat. “Pendidikan bukan hadiah dari kami, itu hak kalian. Jika kami lalai, tegur kami. Tapi berjanjilah satu hal: jangan pernah berhenti belajar, jangan pernah berhenti mendongak ke langit.”
Tepuk tangan bergemuruh, diselingi celetukan, “Awas kalau anggarannya salah lagi ya, Pak!”
Pak Dede tertawa. “Silakan, awasi kami seketat-ketatnya.”
Desa Dongkalan telah berubah. Jalanan mungkin masih becek, buku paket kadang masih datang terlambat, tetapi tidak ada lagi anak yang putus sekolah karena jarak. Balai desa kini selalu hidup hingga senja, penuh dengan suara ejaan, derap langkah kecil, dan tawa.
Jojo, saat cuti, melatih anak-anak baris-berbaris, menanamkan disiplin dan rasa percaya diri. Ariani, dengan sabar, mengajar di bawah peta Indonesia yang masih miring, seolah berpesan bahwa negeri ini memang butuh topangan dari anak-anak seperti mereka. Elita, di sela-sela kesibukannya di posyandu, terus mengingatkan bahwa kecerdasan dimulai dari perut yang terisi gizi.
Desa itu masih sederhana, tetapi tidak lagi sunyi. Ia penuh dengan suara riuh harapan. Karena di Dongkalan, mereka telah belajar satu hal yang paling penting: mimpi bukanlah kata benda. Ia adalah kata kerja.
Luwuk, 18 Oktober 2025